Wednesday 16 February 2011

Kritik Sastra

1. Teori Kritik Sastra Kelompok Lekra

Pada tanggal 17 Agustus 1950, telah didirikan suatu lembaga kebudayaan rakyat yang biasa disebut Lekra. Kelompok Lekra yang beranggotakan para seniman dan sastrawan Indonesia menganut paham realisme sosial. Tidak hanya para seniman dan sastrawan saja, tetapi para simpatisannya pun menganut paham tersebut. Paham realisme sosialis ini dikemukakan oleh Sutan Syahrir. Paham ini dijadikan sebagai teori penciptaan seni budaya, yaituseni sastra dan teori kritik sastra. Selain Sutan Syahrir, seorang penganut dan sastrawan serta kritikus Lekra mengemukakan bahwa seluruh kelompok Lekra berpihak kepada rakyat dan juga mengabdi kepada rakyat dengan berdasarkan paham “seni untuk rakyat”. Artinya, seluruh karya seni yang diciptakan semata-mata untuk pengabdian terhadap rakyat bukanlah aliran “seni untuk seni”, karena kembali pada pahamnya yaitu karya seni kelompok Lekra tegas berpihak kepada rakyat.

Corak yang menonjol pada Lekra adalah komunistis, dikatakan demikian karena pendiri Lekra adalah para tokoh Partai Komunis Indonesia (PKI), antara lain Aidit, Nyoto, Henk Ngantung, dll. Jadi, perlu diketahui bahwa corak komunisme ini adalah hal yang paling menonjol dalam karya seni dan sastranya.

Istilah realisme sosialis yang dianut oleh kelompok Lekra bisa dikatakan menjadi suatu strategi dalam sastra. Pada poin-poin seperti plot, gaya bahasa dan metode penyampaiannya bersifat akademik, dan kritik sastra Lekra ini bersifat pragmatic, artinya bertujuan untuk kesejahteraan rakyat, terutama rakyat pekerja.


2. Teori Sastra Revolusioner dan Kritik Sastra Revolusioner Sitor Situmorang

Teori kritik sastra revolusioner merupakan begian dari kritik satra Lekra. Kritik sastra ini mulai berkembang ketika Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden pada tanggal 5 Juli 1959. Jika Lekra mempunyai corak komunis dan bersandar pada rakyat, maka kritik sastra Revolusioner ini bersandar pada pidato-pidato kenegaraan Presiden Soekarno pada setiap tanggal 17 Agustus. Jadi, kritik sastra Revolusioner ini bersandar pada manifesto politik, sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin dan kepribadian Indonesia. Karya sastra Sitor Situmorang menjadi pusat dan gagasan utama bagi kritik dan teori sastra Revolusioner. Pada saat itu Sitor Situmorang ketua LKN atau sering disebut Lembaga Kebudayaan Nasional. Beliau bekerja sam dengan Lekra untuk menentang sastra feudal borjuis, yang berasaska “seni untuk seni”.

Sastra Revolusioner ini harus ditinjau dari segi sejarah sastra Indonesia serta kaidahnya. Karena revolusi itu adalah peristiwa sejarah dan peristiwa yang terjadi di dalam kepemerintahan Indonesia. Sitor mengemukakan teori dan metode ilmu sastra Revolusioner dengan berlandaskan TAVIP (Tahun Vivere Pericoloso) yang artinya tahun menyerempet-nyerempet bahaya. Pidato kenegaraan Presiden Soekarno yang mencanangkan dinamika, dialektika dan romantika revolusi. Gagasan Sitor ini adalah transformasi gagasan Lekra.

Dapat diuraikan bahwa sastra Revolusioner yang digagas oleh Sitor pada hakikatnya sama dengan Lekra, dimana karya sastranya bertujuan politik dan pembangunan serta teori.

0 comments:

Post a Comment